Pengertian Oligarki dalam Konteks Politik

Oligarki merupakan istilah yang sering muncul dalam diskusi politik, terutama ketika membahas dinamika kekuasaan di Indonesia. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oligarki diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang dijalankan oleh sekelompok kecil orang dari golongan tertentu. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, “oligarkhes”, yang berarti “pemerintahan oleh sedikit orang”. Dalam ilmu politik, konsep oligarki telah lama menjadi perhatian, di mana salah satu pemikir terkenal, Plato, menyebut oligarki sebagai bentuk kemerosotan dari pemerintahan aristokrasi—yakni pemerintahan yang awalnya dipimpin oleh orang-orang cerdas dan bijak, lalu berubah menjadi dikuasai segelintir orang demi kepentingan kelompok sendiri.

Pandangan Para Filsuf tentang Oligarki

Pandangan tentang oligarki tidak hanya disampaikan oleh Plato. Filsuf Yunani lainnya, Polybios, melihat lahirnya oligarki sebagai reaksi atas perilaku sewenang-wenang aristokrasi. Menurutnya, ketika para aristokrat mulai menyalahgunakan kekuasaan, muncul kelompok elite yang mengambil alih untuk memperbaiki keadaan. Sementara itu, Jeffrey A. Winters dalam bukunya “Oligarki” (2011), menyoroti fenomena oligarki di Indonesia yang berkembang pesat pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pada periode tersebut, Winters menilai bahwa telah terjadi apa yang disebut “oligarki sultanistik”, yakni konsentrasi kekuasaan pada satu orang atau kelompok, sehingga instrumen pemaksaan bukan lagi di tangan negara yang terlembaga, melainkan berada dalam kendali satu oligark.

Fenomena Oligarki di Indonesia Saat Ini

Di era reformasi dan demokrasi saat ini, kecenderungan oligarki ternyata masih sangat kuat. Menurut Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), praktik oligarki semakin tumbuh subur di tengah sistem demokrasi Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. Ada empat faktor utama yang dinilai mendorong suburnya oligarki: tata kelola partai politik yang belum demokratis, regulasi yang membatasi, penegakan hukum yang lemah, serta rendahnya kesadaran masyarakat.

Masalah Tata Kelola Partai dan Regulasi Politik

Titi menjelaskan bahwa pengambilan keputusan di partai politik masih didominasi segelintir orang, sehingga proses rekrutmen calon kepala daerah ataupun anggota legislatif cenderung tertutup dan hanya diketahui oleh elite partai. Akuntabilitas dalam proses nominasi pun tidak transparan bagi pengurus maupun anggota biasa. Dari sisi regulasi, aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden, wakil presiden, serta kepala daerah membuat peluang hanya terbuka bagi partai atau gabungan partai yang memiliki kekuatan besar di parlemen. Selain itu, persyaratan bagi calon independen juga sangat berat dan mahal, sehingga semakin menyulitkan masyarakat umum untuk terlibat.

Penegakan Hukum dan Kesadaran Masyarakat

Masalah lainnya adalah lemahnya penegakan hukum. Titi menyebut bahwa regulasi tentang Pemilu dan Pilkada belum mampu memastikan keadilan, karena praktik politik uang dan mahar politik sulit dibuktikan secara hukum, terutama ketika melibatkan aktor-aktor utama di balik layar. Lembaga-lembaga penegak hukum yang ada pun dinilai belum cukup memberi efek jera bagi pelaku pelanggaran.

Di sisi lain, tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya Pemilu dan Pilkada masih rendah dan cenderung permisif terhadap praktik-praktik yang tidak sehat. Pendidikan politik yang seharusnya diberikan oleh partai politik sering kali tidak berjalan efektif, sehingga masyarakat belum mampu menjadi pengawas aktif atas proses politik yang ada.