Belakangan ini, jagat maya diramaikan oleh kemunculan sebuah ungkapan Latin kuno, “Fortis Fortuna Adiuvat,” yang semakin sering menghiasi kolom biografi (bio) akun media sosial, khususnya Instagram. Tren ini bahkan sempat memicu diskusi hangat di platform X (sebelumnya Twitter) pada Maret 2024. Bagi banyak pengguna, menyematkan frasa ini mungkin sekadar mengikuti estetika tren, namun kalimat ini sejatinya membawa beban sejarah yang panjang dan sarat makna filosofis.
Dikutip dari catatan sejarah militer, “Fortis Fortuna Adiuvat” secara harfiah berarti “keberuntungan berpihak pada yang berani”. Frasa ini memiliki akar sejarah yang merentang hingga era Romawi kuno. Penulis drama Terence tercatat sebagai orang pertama yang menggunakannya dalam lakon Phormio pada tahun 151 Sebelum Masehi. Kalimat ini kemudian berevolusi dan diadopsi dalam berbagai karya sastra besar, termasuk puisi epik Aeneid karya Virgil, hingga akhirnya menjadi semboyan resmi bagi banyak unit militer dan kapal Angkatan Laut Amerika Serikat di masa modern.
Sejarah Keberanian dari Vesuvius hingga Alan Turing
Bagi masyarakat Romawi, Fortuna bukan sekadar konsep abstrak, melainkan dewi personifikasi keberuntungan. Salah satu kisah paling dramatis yang melibatkan ungkapan ini datang dari Pliny the Elder. Saat memimpin armada untuk menyelidiki letusan dahsyat Gunung Vesuvius pada tahun 79 Masehi—bencana yang mengubur Pompeii—ia menyerukan kalimat varian, “Fortes’ inquit ‘fortuna iuvat: Pomponianum pete” (Keberuntungan memihak pemberani: cari Pomponianus) kepada anak buahnya demi menyelamatkan rekannya, Senator Pomponianus. Pliny akhirnya gugur dalam ekspedisi penyelamatan tersebut, namun kata-katanya abadi.
Relevansi frasa ini melampaui medan perang fisik. Keluarga ahli matematika legendaris Alan Turing, tokoh kunci yang memecahkan kode Enigma pada Perang Dunia II, telah menggunakan moto ini di lambang keluarga mereka sejak tahun 1316. Di budaya populer kontemporer, karakter fiksi John Wick yang diperankan Keanu Reeves turut mempopulerkan kembali frasa ini melalui tato di punggungnya, memperkuat citra ketangguhan yang kini diadopsi oleh pengguna media sosial.
Pergeseran Paradigma: Dari Koneksi Menjadi Konsumsi
Ironisnya, saat pengguna mempercantik identitas digital mereka dengan semangat keberanian Romawi kuno, lanskap tempat identitas itu bernaung sedang mengalami guncangan hebat. Pasar media sosial global tengah bergerak menjauh dari fungsi aslinya sebagai “alun-alun kota” digital untuk koneksi personal. Menjelang tahun 2025, kita menyaksikan transisi fundamental dari konektivitas menuju hiburan kognitif dan perdagangan algoritmis.
Konsep “Grafik Sosial” (menghubungkan teman) yang dulu menjadi pondasi Facebook atau Instagram kini telah digantikan oleh “Grafik Minat” (menghubungkan pengguna dengan konten). Mesin penemuan berbasis kecerdasan buatan (AI) kini memegang kendali, menyajikan aliran video yang dipersonalisasi secara hiper-spesifik. Pengguna tidak lagi melihat apa yang teman mereka lakukan, melainkan apa yang algoritma pikir akan mereka sukai.
Ekonomi Kreator dan Dominasi AI Generatif
Dalam ekosistem baru ini, inovasi didorong oleh alat AI Generatif yang memungkinkan siapa saja membuat konten teks, gambar, dan video berkualitas tinggi secara instan. Platform-platform besar kini terlibat persaingan sengit untuk mempertahankan talenta melalui model bagi hasil di dalam apa yang disebut “Ekonomi Kreator”. Selain itu, integrasi fitur belanja (shopping) yang memungkinkan transaksi tanpa keluar dari aplikasi menjadi standar baru, mengubah aplikasi sosial menjadi pasar raksasa.
Namun, kejenuhan konten akibat banjirnya teks dan gambar buatan AI memicu tantangan baru: krisis otentikasi. Ketika segala sesuatu bisa dipalsukan atau digeneralisasi oleh mesin, nilai dari interaksi manusia yang asli menjadi semakin mahal dan langka.
Migrasi ke “Dark Social” dan Perubahan Perilaku Pencarian
Perubahan dinamika ini memicu migrasi interaksi sosial yang masif. Pengguna mulai meninggalkan umpan publik (public feeds) yang kini penuh sesak oleh hiburan pasif, menuju “cozy webs” atau jaring-jaring nyaman seperti grup obrolan terenkripsi, komunitas privat di Discord, dan pesan langsung (DM). Fenomena ini dikenal sebagai “Dark Social”, di mana percakapan dan pembagian konten terjadi di ruang tertutup yang sulit dilacak oleh pemasar, memaksa jenama untuk beralih fokus dari sekadar penyiaran iklan menjadi pembangunan komunitas yang nyata.
Perilaku pencarian informasi juga berubah drastis. Generasi Z dan Alpha kini cenderung menggunakan media sosial sebagai mesin pencari utama mereka—mencari rekomendasi wisata atau resep di TikTok dan Instagram—daripada menggunakan mesin pencari tradisional seperti Google. Hal ini melahirkan disiplin baru yang disebut “Social SEO”, di mana visibilitas ditentukan oleh relevansi sosial, bukan sekadar kata kunci situs web.
Peta Kekuatan Regional
Secara geografis, tren penggunaan media sosial menunjukkan polarisasi yang menarik. Amerika Utara tetap menjadi pemimpin dalam hal monetisasi dengan Pendapatan Rata-Rata Per Pengguna (ARPU) tertinggi, menjadi lahan uji coba untuk model langganan berbayar. Sementara itu, Asia Pasifik, khususnya Tiongkok dan Asia Tenggara, telah mengukuhkan diri sebagai pusat “Social Commerce” dunia, di mana penjualan melalui siaran langsung (livestream selling) menjadi saluran ritel yang dominan.
Di sisi lain, Eropa mengambil peran sebagai penjaga regulasi melalui Digital Services Act (DSA) dan GDPR, mendorong adopsi aplikasi pesan yang berfokus pada privasi serta platform terdesentralisasi seperti Mastodon di “Fediverse”. Di tengah gelombang perubahan teknologi yang tak terbendung ini, mungkin semangat “Fortis Fortuna Adiuvat” memang diperlukan—bukan hanya sebagai bio di profil, tetapi sebagai mentalitas untuk beradaptasi dalam hutan rimba algoritma yang terus berubah.